SEJARAH LAHIRNYA ARSITEKTUR

Pengetahuan arsitektur pada mulanya hanya dan selalu berhubungan dengan pekerjaan lapangan atau praktek berarsitektur seperti membangun wadah fisik (bangunan). Ketika pengetahuan ini dianggap dapat disejajarkan dengan deretan ilmu-ilmu lain, mulailah arsitektur diperkenalkan sebagai suatu disiplin dalam pendidikan tinggi. Konsekuensinya adalah arsitektur harus dapat diabstraksikan secara teoritik agar layak diajarkan sekaligus dipelajari. Sejalan dengan bergulirnya waktu, cukup banyak para pakar dan praktisi arsitektur yang melakukan telaah seputar teori arsitektur lewat berbagai media, mulai dari simposium, seminar sampai pada penulisan buku.

Walaupun telaah teori yang ada sangat beragam, tetapi jika dicermati telaah hampir selalu tidak pernah lepas dari aspek kesejarahan. Architecture is therefore dominated by its past, science by its presents. Berbeda dengan science yang telaah teorinya cenderung ditekankan pada perkembangan atau penemuan terakhir yang ada, pada telaah teori arsitektur sejarah arsitektural (architectural history) dan sejarah tentang arsitektur (history of architecture) selalu menjadi komponen sentral. Boleh dikatakan bahwa seluruh usaha pada science ditujukan untuk the future, sementara pada pengetahuan arsitektur justru malah mengkritisi the past.

Kruft mengulas betapa sulitnya melakukan teorisasi (theorizing) arsitektur tanpa sejarah (arsitektur). Johnson mengemukakan bahwa relasi antara teori dan sejarah (arsitektur) adalah bagaikan figure and ground yang dapat berlaku vice-verca. Nesbitt berpendapat bahwa theory overlaps with but differs from architectural history, dan menawarkan pendekatan teori arsitektur melalui posisi politik, etik, bahasa, estetik, dan fenomenologi. Jay menegaskan bahwa semakin fokus telaah teori arsitektur, semakin pula terasa bahwa telaah tersebut akan mengarah pada relasi antara teori dan budaya yang melingkupinya. Dalam lomba penulisan dan simposium nasional teori arsitektur pertama yang diselenggarakan arsitektur UNPAR, dapat dilihat bahwa makalah yang dikemukakan oleh para panelis seluruhnya berlandaskan pada sumber teks masa lalu, sumber artifak arsitektur nusantara yang ada, serta fenomena perubahan paham pemikiran yang terjad.

Para tokoh modernis seperti Walter Groupius, Mies Van de Rohe, Le Corbusier dan Frank Lloyd Wright sering disalahartikan sebagai “anti sejarah” (terutama pendidikan di Bauhaus), padahal sebenarnya mereka hanya menawarkan kebebasan bentuk baru tanpa harus terikat simbol-simbol yang telah ada. Pendekatan ini sebenarnya dapat dikategorikan sebagai suatu “architectural history criticism“. Lihat bagaimana Corbu melakukan perjalanan ke Itali, Yunani, kemudian membuat sketsa-sketsa tentang bangunan yang ada lalu memformulasikan Le-Modulor dengan berlandas pada golden section. Demikian juga Wright yang mencoba mengadaptasi esensi bangunan Jepang pada karya-karyanya seperti Imperial Hotel, juga mengadaptasi esensi bangunan pseudo-romantic, neo-spanish pada karyanya hollyhock-house.

Tulisan ini tidak ingin melibatkan diri sehingga terjebak dalam kancah perseteruan klasik antara pro atau kontra aspek sejarah dalam pengetahuan arsitektur, tetapi lebih bertujuan untuk menyoroti dan mengungkap seluruh relasi yang terjalin antara sejarah dan teori arsitektur.